Selasa, 29 Desember 2015

Learning Obstacle Konsep Relasi dan Fungsi

Learning Obstacle Konsep Relasi dan Fungsi
Oleh: Mohamad Tri Afriyadi Nur Asidin

Pendidikan formal saat ini menjadi hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan merupakan salah satu faktor penting kemajuan bangsa, karena pendidikan salah satunya dapat menciptakan dan mengembangkan potensi sumber daya manusia. Negara dengan sumber daya manusia yang maju tentu akan menjadi aset penting bagi kemajuan negaranya sendiri. Indonesia sebagai negara berkembang tentu masih memiliki berbagai macam kendala dan kekurangan dalam sistem pendidikannya. Salah satunya adalah dalam proses pembelajaran.
Tujuan pendidikan yang tertulis dalam Undang-Undang Nomor 20 Ayat 3 Tahun 2003 menyebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Maka perlu dilakukan proses pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pendidikan, artinya proses pembelajaran sangat penting dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Hal ini dijelaskan oleh Dimyati dan Mudjiono (2009 : 7) yang berpendapat bahwa pembelajaran adalah suatu persiapan yang dipersiapkan oleh guru guna menarik dan memberikan informasi kepada siswa, sehingga dengan persiapan yang dirancang oleh guru dapat membantu siswa dalam menghadapi tujuan.
Pada hakikatnya pembelajaran adalah kegiatan saat guru membelajarkan siswanya, yang berarti guru tersebut membuat siswanya belajar dalam kondisi yang baik dan siap belajar, Suherman (2010). Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang membuat siswa belajar dengan baik (baik secara fisik dan psikis). Proses psikologi yang menjadi dasar dalam pembelajaran adalah belajar. Konsep belajar menurut Fontana dalam buku Strategi Belajar Mengajar Matematika adalah sebagai proses perubahan perilaku individu yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman. Menurut Suherman (1992) proses belajar jika dilihat dari individu yang belajar bersifat internal dan unik, sedangkan proses pembelajaran bersifat eksternal yang sengaja dirancang. Oleh karena itu pembelajaran adalah proses rekayasa manusia yakni rekayasa perilaku. Atas dasar itu maka terjadinya proses belajar adalah kriteria dasar proses pembelajaran. Tentu belajar dengan adanya tujuan akan lebih terarah dibanding belajar karena pengalaman semata. Termasuk dalam hal pembelajaran matematika.
Hakikat matematika menurut Karso dan Suherman (1992) adalah menguraikan tentang apa sebenarnya matematika ditinjau dari beberapa aspek, baik dari arti kata matematika itu sendiri, karakteristik matematika sebagai ilmu maupun peran dan kedudukan matematika di cabang ilmu pengetahuan serta manfaatnya. Matematika disebut sebagai induk dari segala ilmu, karena matematika adalah bahasa berisi simbol yang dapat mengomunikasikan ilmu pengetahuan lain, matematika adalah ilmu deduktif, ilmu tentang pola keteraturan, ilmu tentang struktur yang terorganisasikan dengan baik dan merupakan alat serta pelayan ilmu lainnya.
Salah satu konsep mendasar dalam matematika adalah konsep fungsi. Konsep fungsi sangat sering digunakan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan lain, seperti Biologi, Fisika, Kimia, bahkan rumpun ilmu sosial sekalipun seperti akuntansi, ekonomi dan lain-lain. Sehingga konsep fungsi adalah salah satu konsep yang penting untuk dipahami siswa dengan baik dan benar.
Banyak siswa mengeluh tentang sulitnya belajar matematika. Salah satu faktor sulitnya belajar matematika karena persepsi siswa tentang matematika. Siswa lebih banyak diberikan rumus tanpa dijelaskan asal formula tersebut dan kegunaan formula tersebut dalam kehidupan. Siswa hanya mengenal matematika sebatas rumus dan angka, sehingga memunculkan anggap bahwa matematika adalah pelajaran yang sulit dimengerti dan membosankan.
Pembelajaran matematika yang menyebabkan persepsi siswa seperti itu salah satunya adalah pembelajaran matematika tradisional yang memaksa siswa menghafal yang sifatnya mekanis. Biasanya guru datang masuk kelas dengan membawa buku atau modul pembelajaran, lalu menerangkan materi yang sama persis dengan yang ada pada buku atau modul. Kemudian siswa diberikan tugas soal yang harus dikerjakan dengan tipe soal dan cara pengerjaan yang sama, dan selesai. Sampai seterusnya proses pembelajaran ini berlangsung. Sehingga siswa kurang pengalaman selama proses pembelajaran yang menyebabkan siswa tidak memaknai pembelajaran tersebut. Menurut Kusumah dan Suherman (1992) Kelemahan-kelemahan matematika tradisional adalah sebagai berikut:
1.      Keterampilan berhitung dan mengapal yang sifatnya mekanis lebih diutamakan tanpa ada usaha mendalami pengertiannya.
2.      Kurang memberi rangsangan pada siswa untuk bermotivasi dan memacu keingintahuan pada diri mereka.
3.      Materi tidak berkesinambungan antara tingkat SD – SMP – SMA
4.      Materi yang diberikan kurang adanya hubungan dengan kehidupan sehari-hari.
5.       Kurang memperhatikan ketepatan bahasa, sehingga menyebabkan missconception pada siswa.
Kesalahan-kesalahan tersebut disetujui oleh William Brownell yang menyatakan bahwa pengertian dalam proses belajar harus diutamakan daripada latihan atau hafalan yang sifatnya dril.
            Hal-hal yang telah dipaparkan sebelumnya bukan tidak mungkin akan menimbulkan ketakutan-ketakutan baru siswa dalam belajar matematika. Sehingga muncullah hambatan-hambatan belajar siswa dalam mempelajari matematika yang biasa disebut Learning Obstacle. Seperti yang dikemukakan oleh Istiqomah dalam Aprianti (2013) bahwa ada beberapa hambatan belajar yang muncul dalam memahami konsep fungsi:
1.      Hambatan epistemologis terkait concept image yang telah ada mengenai definisi fungsi.
2.      Hambatan epistemologis terkait dengan konteks variasi informasi yang tersedia pada soal.
3.      Hambatan epistemologis terkait dengan kemampuan siswa dalam mengomunikasikan informasi yang ada menjadi ke dalam bentuk notasi fungsi
4.      Hambatan epistemologis terkait koneksi konsep fungsi degan konsep matematika yang lain khususnya dalam konsep bilangan, persamaan dan operasi aljabar.


Learning Obstacle yang Dialami Responden pada topik relasi dan fungsi .
Berdasarkan hasil uji instrumen yang diberikan pada responden ditemukan beberapa learning obstacle terkait topik relasi dan fungsi sebagai berikut.
3.4.1        Leaarning Obstcale terkait definisi fungsi.
Siswa masih kesulitan jika ditanyakan yang berhubungan tentang definisi fungsi. Karena dalam pembelajaran siswa hanya diberikan informasi tentang definisi fungsi tanpa dilibatkan untuk memahai apa yang dimaksud dengan fungsi. Ini terlihat saat siswa mengerjakan soal nomor 1, tidak ada satu orang siswa pun yang berhasil menjawab soal nomor 1 dengan benar. Bahkan memilih mana yang fungsi dan bukan fungsi saja masih banyak kesalahan.
Sebaiknya dalam pembelajaran topik relasi dan fungsi, siswa dilibatkan dalam setiap kesepakatan yang diambil, definisi fungsi merupakan kesepakatan antara siswa, guru dan materi. Bukan hanya kesepakatan antara guru dengan materi. Jadi dalam proses pembelajaran guru sebisa mungkin mengajak siswa untuk berperan aktif mengemukakan sendiri pendapat mereka tentang fungsi. Menurut Brunner (Suherman dkk., 2003) mengenai teorema konstruksi yang dikemukakannya, teorema ini menyatakan bahwa dalam menguasai suatu konsep tertentu, siswa harus dilatih untuk melakukan penyusunan representasinya dengan mencoba dan melakukannya sendiri. Dengan demikian, siswa akan lebih memahaminya karena terlibat langsung dalam proses belajar.
3.4.2        Learning Obstacle terkait penamaan relasi
Siswa masih banyak mengalami kesulitan tentang bagaimana cara untuk menamai suatu relasi. Alasan siswa tidak bisa menamai relasi karena siswa lupa dengan caranya. Ini berarti dalam proses pembelajaran siswa tidak memaknai apa yang dipelajarinya sehingga ia lupa dengan konsep yang diajarkan.
Sebaiknya dalam pembelajaran guru mendisain pembelajaran dengan memperhatikan keterkaitan antara konsep satu dengan yang lainnya, sehingga siswa tidak melupakan konsep-konsep terkait sebelumnya. Menurut David Ausubel (Suherman dkk., 2003) tentang teori belajar bermakna atau teori meaningfull learning yaitu pengulangan sebelum belajar dimulai merupakan bagian yang penting. Belajar dikatakan bermakna apabila melalui tahapan mengetahui, memahami, mengaplikasikan, dan memilikinya untuk dimanfaatkan lebih lanjut. Selain itu, apabila dalam memahami suatu konsep selalu dikaitkan dengan konsep-konsep lainnya maka akan terjadi proses belajar yang bermakna.
3.4.3     Learning Obstacle terkait menyatakan suatu fungsi ke dalam diagram cartesius (membuat grafik).
Banyak responden yang mengalami kesulitan saat membuat grafik. Terlihat pada soal nomor 2c, 3c, dan 5c. Persentase jawaban benar sangat kecil, yaitu tidak melebih 50% untuk responden siswa. Berdasarkan hasil wawancara, siswa tidak terlalu difokuskan belajar membuat grafik mereka lebih difokuskan belajar fungsi secara aljabar. Padahal antara geometri dan ajabar saling berkaitan, geometri dapat memudahkan siswa mengerti maksud dari aljabar pada fungsi sehingga siswa tidak perlu repot menghafal, cukup memahami maksud dari gambar grafik fungsi.
Guru dapat membuat disain pembelajaran agar siswa dapat membuat grafik fungsi dengan benar. Teori pembelajaran tentang geometri dikemukakan oleh Van Hiele sebagai berikut. Van Hiele menyimpulkan mengenai tingkat perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri. Menurut Van Hiele (Krisyanto, 2007), kemajuan dari satu tingkat selanjutnya melibatkan lima fase pembelajaran yaitu informasi (informastin), orientasi langsung (directed orientation), penjelasan (explanation), orientasi bebas (free orientasi), dan integrasi (integration). Dengan teori yang dikemukakan Van Hiele yang memperhatikan tingkat perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri dapat menjadi referensi bagi guru untuk mendisain pembelajaran dalam kelas.
3.4.4        Learning Obstacle terkait pemahaman siswa terhadap aturan fungsi dan nilai fungsi
Banyak siswa yang menjawab salah ketika diperintahkan menentukan aturan fungsi jika hubungan antara anggota-anggota pada domain dan kodomain sudah jelas dalam soal. Terlihat pada soal nomor 3b, pengalaman belajar siswa yang kurang yang hanya terpaku pada simbol f untuk fungsi, sehingga ketika pada soal diberikan simbol h untuk suatu fungsi siswa kesulitan menentukan aturan fungsinya.
Beberapa siswa mampu membuat aturan fungsi dengan tepat sesuai keinginan soal, tetapi ketika suatu aturan fungsi disajikan dalam hal yang tidak biasa dalam soal dan siswa diminta untuk menentukan nilai dari f(x), nilai x dikethui dan f(x) memiliki syarat pada domainnya (seperti pada soal nomr 5. Siswa banyak yang tidak menjawab soal dikarenakan bingung bagaimana harus menjawabnya. Hal ini mengindikasikan bahwa konsep fungsi yang dipelajari kurang bermakna, seharusnya berdasarkan definisi fungsi siswa bisa menjawab soal tersebut dengan  mudah.

Daftar Pustaka
Agustiani, N. (2013). Desain Didaktis Konsep Komposisi Fungsi pada Pembelajaran Matematika SMA. Skripsi FPMIPA UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Agustina, N. (2012). Desain Didaktis Pembelajaran Matematika SMP pada Pokok Bahasan Kubus. Skripsi FPMIPA UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Fitriyani. (2011). Desain Didaktis Luas Daerah Trapesium pada Pembelajaran Matematika SMP. Skripsi FPMIPA UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Hendra, A. (2011). Desain Didaktis Bahan Ajar Problem Solving pada Konsep Luas Daerah Lingkaran. Skripsi FPMIPA UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Moleong, L.J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nugroho dan Meisaroh. (2009). Matematika SMP dan MTS Kelas VIII (BSE). Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Pratama, R.A. (2011). Desain Didaktis Konsep Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Bulat pada Pembelajaran Matematika SMP. Skripsi FPMIPA UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Ruseffendi, E.T. (2006). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang NonEksak Lainnya. Bandung: Tarsito.
Suherman, E. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung:Universitas Pendidikan Indonesia.
Suryadi, D. (2013). Didactical Design Research (DDR) dalam Pengembangan Pembelajaran Matematika. UNNES: Seminar Pendidikan Matematika. Diakses dari: http://didi-suryadi.staf.upi.edu/files/2011/06/DIDACTICAL-DESIGN-RESEARCH-DDR.pdf.

0 komentar:

Posting Komentar