Selasa, 29 Desember 2015

Learning Obstacle Konsep Relasi dan Fungsi

Learning Obstacle Konsep Relasi dan Fungsi
Oleh: Mohamad Tri Afriyadi Nur Asidin

Pendidikan formal saat ini menjadi hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan merupakan salah satu faktor penting kemajuan bangsa, karena pendidikan salah satunya dapat menciptakan dan mengembangkan potensi sumber daya manusia. Negara dengan sumber daya manusia yang maju tentu akan menjadi aset penting bagi kemajuan negaranya sendiri. Indonesia sebagai negara berkembang tentu masih memiliki berbagai macam kendala dan kekurangan dalam sistem pendidikannya. Salah satunya adalah dalam proses pembelajaran.
Tujuan pendidikan yang tertulis dalam Undang-Undang Nomor 20 Ayat 3 Tahun 2003 menyebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Maka perlu dilakukan proses pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pendidikan, artinya proses pembelajaran sangat penting dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Hal ini dijelaskan oleh Dimyati dan Mudjiono (2009 : 7) yang berpendapat bahwa pembelajaran adalah suatu persiapan yang dipersiapkan oleh guru guna menarik dan memberikan informasi kepada siswa, sehingga dengan persiapan yang dirancang oleh guru dapat membantu siswa dalam menghadapi tujuan.
Pada hakikatnya pembelajaran adalah kegiatan saat guru membelajarkan siswanya, yang berarti guru tersebut membuat siswanya belajar dalam kondisi yang baik dan siap belajar, Suherman (2010). Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang membuat siswa belajar dengan baik (baik secara fisik dan psikis). Proses psikologi yang menjadi dasar dalam pembelajaran adalah belajar. Konsep belajar menurut Fontana dalam buku Strategi Belajar Mengajar Matematika adalah sebagai proses perubahan perilaku individu yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman. Menurut Suherman (1992) proses belajar jika dilihat dari individu yang belajar bersifat internal dan unik, sedangkan proses pembelajaran bersifat eksternal yang sengaja dirancang. Oleh karena itu pembelajaran adalah proses rekayasa manusia yakni rekayasa perilaku. Atas dasar itu maka terjadinya proses belajar adalah kriteria dasar proses pembelajaran. Tentu belajar dengan adanya tujuan akan lebih terarah dibanding belajar karena pengalaman semata. Termasuk dalam hal pembelajaran matematika.
Hakikat matematika menurut Karso dan Suherman (1992) adalah menguraikan tentang apa sebenarnya matematika ditinjau dari beberapa aspek, baik dari arti kata matematika itu sendiri, karakteristik matematika sebagai ilmu maupun peran dan kedudukan matematika di cabang ilmu pengetahuan serta manfaatnya. Matematika disebut sebagai induk dari segala ilmu, karena matematika adalah bahasa berisi simbol yang dapat mengomunikasikan ilmu pengetahuan lain, matematika adalah ilmu deduktif, ilmu tentang pola keteraturan, ilmu tentang struktur yang terorganisasikan dengan baik dan merupakan alat serta pelayan ilmu lainnya.
Salah satu konsep mendasar dalam matematika adalah konsep fungsi. Konsep fungsi sangat sering digunakan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan lain, seperti Biologi, Fisika, Kimia, bahkan rumpun ilmu sosial sekalipun seperti akuntansi, ekonomi dan lain-lain. Sehingga konsep fungsi adalah salah satu konsep yang penting untuk dipahami siswa dengan baik dan benar.
Banyak siswa mengeluh tentang sulitnya belajar matematika. Salah satu faktor sulitnya belajar matematika karena persepsi siswa tentang matematika. Siswa lebih banyak diberikan rumus tanpa dijelaskan asal formula tersebut dan kegunaan formula tersebut dalam kehidupan. Siswa hanya mengenal matematika sebatas rumus dan angka, sehingga memunculkan anggap bahwa matematika adalah pelajaran yang sulit dimengerti dan membosankan.
Pembelajaran matematika yang menyebabkan persepsi siswa seperti itu salah satunya adalah pembelajaran matematika tradisional yang memaksa siswa menghafal yang sifatnya mekanis. Biasanya guru datang masuk kelas dengan membawa buku atau modul pembelajaran, lalu menerangkan materi yang sama persis dengan yang ada pada buku atau modul. Kemudian siswa diberikan tugas soal yang harus dikerjakan dengan tipe soal dan cara pengerjaan yang sama, dan selesai. Sampai seterusnya proses pembelajaran ini berlangsung. Sehingga siswa kurang pengalaman selama proses pembelajaran yang menyebabkan siswa tidak memaknai pembelajaran tersebut. Menurut Kusumah dan Suherman (1992) Kelemahan-kelemahan matematika tradisional adalah sebagai berikut:
1.      Keterampilan berhitung dan mengapal yang sifatnya mekanis lebih diutamakan tanpa ada usaha mendalami pengertiannya.
2.      Kurang memberi rangsangan pada siswa untuk bermotivasi dan memacu keingintahuan pada diri mereka.
3.      Materi tidak berkesinambungan antara tingkat SD – SMP – SMA
4.      Materi yang diberikan kurang adanya hubungan dengan kehidupan sehari-hari.
5.       Kurang memperhatikan ketepatan bahasa, sehingga menyebabkan missconception pada siswa.
Kesalahan-kesalahan tersebut disetujui oleh William Brownell yang menyatakan bahwa pengertian dalam proses belajar harus diutamakan daripada latihan atau hafalan yang sifatnya dril.
            Hal-hal yang telah dipaparkan sebelumnya bukan tidak mungkin akan menimbulkan ketakutan-ketakutan baru siswa dalam belajar matematika. Sehingga muncullah hambatan-hambatan belajar siswa dalam mempelajari matematika yang biasa disebut Learning Obstacle. Seperti yang dikemukakan oleh Istiqomah dalam Aprianti (2013) bahwa ada beberapa hambatan belajar yang muncul dalam memahami konsep fungsi:
1.      Hambatan epistemologis terkait concept image yang telah ada mengenai definisi fungsi.
2.      Hambatan epistemologis terkait dengan konteks variasi informasi yang tersedia pada soal.
3.      Hambatan epistemologis terkait dengan kemampuan siswa dalam mengomunikasikan informasi yang ada menjadi ke dalam bentuk notasi fungsi
4.      Hambatan epistemologis terkait koneksi konsep fungsi degan konsep matematika yang lain khususnya dalam konsep bilangan, persamaan dan operasi aljabar.


Learning Obstacle yang Dialami Responden pada topik relasi dan fungsi .
Berdasarkan hasil uji instrumen yang diberikan pada responden ditemukan beberapa learning obstacle terkait topik relasi dan fungsi sebagai berikut.
3.4.1        Leaarning Obstcale terkait definisi fungsi.
Siswa masih kesulitan jika ditanyakan yang berhubungan tentang definisi fungsi. Karena dalam pembelajaran siswa hanya diberikan informasi tentang definisi fungsi tanpa dilibatkan untuk memahai apa yang dimaksud dengan fungsi. Ini terlihat saat siswa mengerjakan soal nomor 1, tidak ada satu orang siswa pun yang berhasil menjawab soal nomor 1 dengan benar. Bahkan memilih mana yang fungsi dan bukan fungsi saja masih banyak kesalahan.
Sebaiknya dalam pembelajaran topik relasi dan fungsi, siswa dilibatkan dalam setiap kesepakatan yang diambil, definisi fungsi merupakan kesepakatan antara siswa, guru dan materi. Bukan hanya kesepakatan antara guru dengan materi. Jadi dalam proses pembelajaran guru sebisa mungkin mengajak siswa untuk berperan aktif mengemukakan sendiri pendapat mereka tentang fungsi. Menurut Brunner (Suherman dkk., 2003) mengenai teorema konstruksi yang dikemukakannya, teorema ini menyatakan bahwa dalam menguasai suatu konsep tertentu, siswa harus dilatih untuk melakukan penyusunan representasinya dengan mencoba dan melakukannya sendiri. Dengan demikian, siswa akan lebih memahaminya karena terlibat langsung dalam proses belajar.
3.4.2        Learning Obstacle terkait penamaan relasi
Siswa masih banyak mengalami kesulitan tentang bagaimana cara untuk menamai suatu relasi. Alasan siswa tidak bisa menamai relasi karena siswa lupa dengan caranya. Ini berarti dalam proses pembelajaran siswa tidak memaknai apa yang dipelajarinya sehingga ia lupa dengan konsep yang diajarkan.
Sebaiknya dalam pembelajaran guru mendisain pembelajaran dengan memperhatikan keterkaitan antara konsep satu dengan yang lainnya, sehingga siswa tidak melupakan konsep-konsep terkait sebelumnya. Menurut David Ausubel (Suherman dkk., 2003) tentang teori belajar bermakna atau teori meaningfull learning yaitu pengulangan sebelum belajar dimulai merupakan bagian yang penting. Belajar dikatakan bermakna apabila melalui tahapan mengetahui, memahami, mengaplikasikan, dan memilikinya untuk dimanfaatkan lebih lanjut. Selain itu, apabila dalam memahami suatu konsep selalu dikaitkan dengan konsep-konsep lainnya maka akan terjadi proses belajar yang bermakna.
3.4.3     Learning Obstacle terkait menyatakan suatu fungsi ke dalam diagram cartesius (membuat grafik).
Banyak responden yang mengalami kesulitan saat membuat grafik. Terlihat pada soal nomor 2c, 3c, dan 5c. Persentase jawaban benar sangat kecil, yaitu tidak melebih 50% untuk responden siswa. Berdasarkan hasil wawancara, siswa tidak terlalu difokuskan belajar membuat grafik mereka lebih difokuskan belajar fungsi secara aljabar. Padahal antara geometri dan ajabar saling berkaitan, geometri dapat memudahkan siswa mengerti maksud dari aljabar pada fungsi sehingga siswa tidak perlu repot menghafal, cukup memahami maksud dari gambar grafik fungsi.
Guru dapat membuat disain pembelajaran agar siswa dapat membuat grafik fungsi dengan benar. Teori pembelajaran tentang geometri dikemukakan oleh Van Hiele sebagai berikut. Van Hiele menyimpulkan mengenai tingkat perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri. Menurut Van Hiele (Krisyanto, 2007), kemajuan dari satu tingkat selanjutnya melibatkan lima fase pembelajaran yaitu informasi (informastin), orientasi langsung (directed orientation), penjelasan (explanation), orientasi bebas (free orientasi), dan integrasi (integration). Dengan teori yang dikemukakan Van Hiele yang memperhatikan tingkat perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri dapat menjadi referensi bagi guru untuk mendisain pembelajaran dalam kelas.
3.4.4        Learning Obstacle terkait pemahaman siswa terhadap aturan fungsi dan nilai fungsi
Banyak siswa yang menjawab salah ketika diperintahkan menentukan aturan fungsi jika hubungan antara anggota-anggota pada domain dan kodomain sudah jelas dalam soal. Terlihat pada soal nomor 3b, pengalaman belajar siswa yang kurang yang hanya terpaku pada simbol f untuk fungsi, sehingga ketika pada soal diberikan simbol h untuk suatu fungsi siswa kesulitan menentukan aturan fungsinya.
Beberapa siswa mampu membuat aturan fungsi dengan tepat sesuai keinginan soal, tetapi ketika suatu aturan fungsi disajikan dalam hal yang tidak biasa dalam soal dan siswa diminta untuk menentukan nilai dari f(x), nilai x dikethui dan f(x) memiliki syarat pada domainnya (seperti pada soal nomr 5. Siswa banyak yang tidak menjawab soal dikarenakan bingung bagaimana harus menjawabnya. Hal ini mengindikasikan bahwa konsep fungsi yang dipelajari kurang bermakna, seharusnya berdasarkan definisi fungsi siswa bisa menjawab soal tersebut dengan  mudah.

Daftar Pustaka
Agustiani, N. (2013). Desain Didaktis Konsep Komposisi Fungsi pada Pembelajaran Matematika SMA. Skripsi FPMIPA UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Agustina, N. (2012). Desain Didaktis Pembelajaran Matematika SMP pada Pokok Bahasan Kubus. Skripsi FPMIPA UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Fitriyani. (2011). Desain Didaktis Luas Daerah Trapesium pada Pembelajaran Matematika SMP. Skripsi FPMIPA UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Hendra, A. (2011). Desain Didaktis Bahan Ajar Problem Solving pada Konsep Luas Daerah Lingkaran. Skripsi FPMIPA UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Moleong, L.J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nugroho dan Meisaroh. (2009). Matematika SMP dan MTS Kelas VIII (BSE). Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Pratama, R.A. (2011). Desain Didaktis Konsep Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Bulat pada Pembelajaran Matematika SMP. Skripsi FPMIPA UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Ruseffendi, E.T. (2006). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang NonEksak Lainnya. Bandung: Tarsito.
Suherman, E. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung:Universitas Pendidikan Indonesia.
Suryadi, D. (2013). Didactical Design Research (DDR) dalam Pengembangan Pembelajaran Matematika. UNNES: Seminar Pendidikan Matematika. Diakses dari: http://didi-suryadi.staf.upi.edu/files/2011/06/DIDACTICAL-DESIGN-RESEARCH-DDR.pdf.

Senin, 30 November 2015

Minggu, 03 Mei 2015

KONSEP DASAR DIAGNOSTIK KESULITAN BELAJAR DAN PENGAJARAN REMEDIAL


 
    1. Konsep Dasar Diagnostik Kesulitan Belajar
      1. Definisi Diagnostik Kesulitan Belajar
  • Diagnostik
    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diagnosis /di·ag·no·sis/  adalah penentuan jenis penyakit dengan cara meneliti (memeriksa) gejala-gejalanya.
    Menurut Harriman dalam bukunya Handbook of Psychological Term, diagnostik adalah suatu analisis terhadap kelainan atau salah penyesuaian dari pola gejala-gejalanya. Jadi diagnostik merupakan proses pemeriksaan terhadap hal-hal yang dipandang tidak beres atau bermasalah.
    Maka dapat disimpulkan bahwa diagnosik adalah penentuan jenis masalah atau kelainan dengan meneliti latar belakang penyebabnya atau dengan cara menganalisis gejala-gejala yang tampak.
  • Kesulitan Belajar
    Secara harfiah, kesulitan belajar didefinisikan sebagai rendahnya kepandaian yang dimiliki seseorang dibandingkan dengan kemampuan yang seharusnya dicapai orang itu pada umur tersebut. Kesulitan belajar secara informal dapat dikenali dari keterlambatan dalam perkembangan kemampuan seorang anak. Kesulitan atau hambatan belajar yang dialami oleh peserta didik dapat berasal dari faktor fisiologik, psikologik, instrument, dan lingkungan belajar.
    Maka dapat disimpulkan bahwa diagnostik kesulitan belajar merupakan proses menentukan masalah atas ketidakmampuan peserta didik dalam belajar dengan meneliti latar belakang penyebabnya dan atau dengan cara menganalisis gejala-gejala kesulitan atau hambatan belajar yang nampak.

 
  1. Jenis-Jenis Kesulitan Belajar
Mengenali kesulitan belajar jelas berbeda dengan mendiagnostik penyakit cacar air atau campak. Cacar air dab campak tergolong penyakit dengan gejala yang dapat dikenali dengan mudah. Berbeda dengan LD (Learning Disorder/Gangguan belajar) yang sangat rumit dan meliputi begitu banyak kemungkinan penyebab, gejala-gejala, perawatan, serta penanganan. LD sangatlah sulit untuk didiagnostik dan dicari penyebabnya secara pasti. Hingga saat ini, belum ditemukan obat atau perawatan yang sanggup menyembuhkan mereka sepenuhnya.
Tidak semua kesulitan dalam proses belajar dapat disebut LD. Sebagian anak mungkin hanya mengalami kesulitan dalam mengembangkan bakatnya. Kadang-kadang, seseorang memperlihatkan ketidakwajaran dalam perkembangan alaminya, sehingga
Kriteria yang harus dipenuhi sebelum seseorang dinyatakan menderita LD tertuang dalam buku petunjuk yang berjudul DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders). Kesulitan belajar dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu:
  1. Kesulitan dalam berbicara dan berbahasa
  2. Permasalahan dalam hal kemampuan akademik
  3. Kesulitan lainnya, yang mencakup kesulitan dalam mengoordinasi gerakan anggota tubuh serta permasalahan belajar yang belum dicakup oleh kedua kategori di atas.
Kesulitan lainnya seperti "gangguan kemampuan motorik" dan "gangguan perkembangan khusus yang belum diklasifikasikan". Gejala-gejalanya adalah keterlambatan atau keterbelakangan dalam memahami bahasa, kemampuan akademis serta motorik yang pada gilirannya memengaruhi kemampuannya untuk memelajari sesuatu. Tetapi bedanya, ini semua tidak sesuai kriterianya dengan jenis-jenis keterlambatan belajar yang telah kita bahas sebelumnya. Gejala-gejala ini juga mencakup gangguan koordinasi tubuh yang pada gilirannya dapat mengakibatkan buruknya tulisan seseorang, dan begitu pula halnya dengan kesulitan mengeja serta mengingat.

 
  1. Faktor Penyebab Munculnya Kesulitan Belajar
Beberapa faktor penyebab munculnya kesulitan belajar menurut Sukardi dibedakan menjadi dua, yaitu:
  1. Faktor internal yang meliputi:
    1. Kesehatan
    2. Problem Menyesuaikan Diri
  2. Faktor eksternal yang meliputi:
    1. Lingkungan
    2. Cara Guru Mengajar yang Tidak Baik
    3. Orang Tua Siswa
    4. Masyarakat Sekitar

     
4. Ciri-Ciri Peserta Didik yang Mengalami Kesulitan Belajar
Ciri-ciri umum siswa lamban belajar dapat dipahami melalui pengamatan fisik siswa, perkembangan mental, intelektual, sosial, ekonomi, kepribadian, dan proses-proses belajar yang yang dilakukannya di sekolah dan di rumah. Ciri-ciri itu dianalisis agar diperoleh kejelasan yang konkret tentang gejala dan sebab-sebab kesulitan belajar siswa di sekolah dan di rumah. Rincian analisisnya mencakup hal-hal sebagai berikut: fisik, perkembangan mental, sosial, perkembangan kepribadian, proses-proses belajar yang dilakukannya.
Ketidaksanggupan siswa lamban belajar dalam menguasai pengetahuan mempengaruhi sikap dan perilakunya menjadi tidak cocok dengan lingkungan sekelilingnya sehingga mengundang masalah orang-orang di sekitarnya. Ketidaksanggupan belajar disebabkan kerusakan-kerusakan tertentu pada diri seseorang yang membuat seseorang itu lamban belajar.
Menurut Cece Wijaya (2010), kerusakan-kerusakan itu dikategorikan dalam empat hal, yaitu :
  1. Dyslexia, adalah kelemahan-kelemahan belajar di bidang menulis dan berbicara.
  2. Dyscalculia, adalah kesulitan mengenal angka dan pemahaman terhadap konsep dasar matematika.
  3. Attention Defisit Hyperactive Disorder (ADHD), adalah pemusatan perhatian terhadap masalah-masalah yang sedang dihadapinya.
  4. Spatial, motor, ad perceptual defisits, adalah kondisi lemah dalam menilai dirinya menurutukuran ruang dan waktu.

 
Kerusakan lainnya yang membuat siswa lamban belajar adalah Social defisits, yaitu kesulitan mengembangkan keterampilan sosial. Kesulitan itu dapat membuat ketidaksanggupan menemukan jati dirinya. Gejala-gejalanya adalah (1) sulit menangkap tanda-tanda tingkah laku sosial, seperti dalam mencurahkan idemelalui raut muka dan gerakan-gerakan motorik lainnya, (2) sering nmemotong pembicaaan orang, (3) berbicara dengan keras, (4) sulit berteman, dan (5) ketidaksadaran terhadap cara-cara orang lain mengamati perilakunya.
Berdasarkan hasil penelitian para pakar psikolog bahwa siswa yang tidak sanggup mengembangkan keterampilan sosila dapat dilatih melalui bimbingan guru-gurunya. Ukuran kepercayaan yang tumbuh pada dirinya dapat menjadi alat untuk mengembangkan keterampilan bergaul dalam lingkungannya.

 
  1. Prosedur Diagnostik Kesulitan Belajar
Dalam melakukan diagnostik kesulitan belajar yang dialami oleh siswa, setidaknya ada tiga langkah umum yamg harus ditempuh oleh seorang guru, yaitu :
  1. Mendiagnostik kesulitan belajar yang dialami oleh siswa,
  2. Mengadakan estimasi (prognosis) tentang faktor-faktor penyebab kesulitan belajar yang dialami siswa.
  3. Mengadakan terapi.
Dalam hal ini, seorang guru harus senantiasa secara teratur memantau dan menerma informasi tentang kemajuan belajar siswa. Lebih jauh, informasi yang diterimanya itu harus dapat digunakan sebagai diagnostik atau peramalan tentang kondisi belajar siswa.
Informasi yang telah diterima dapat dijadikan umpan balik (feedback) untuk memantau penguatan (reinforcement) yang dimiliki oleh siswa dalam setiap unit pembelajaran, mengakui apakah siswa itu sedah belajar dengan baik atau belum, dan mengidentifikasi siswa-siswa yang ternyata mengalami kesulitan belajar.

 
  1. Mendiagnostik Kesulitan Belajar secara Formal
Diagnostik yang sebenarnya terhadap kesulitan belajar dilakukan dengan metode uji standar yang membandingkan tingkatan kemampuan seorang anak terhadap anak lainnya yang dianggap normal. Hasil uji tidak hanya tergantung pada kemampuan aktual anak, tetapi juga reliabilitas pengujian itu serta kemampuan sang anak untuk memerhatikan dan memahami pertanyaannya.
Masing-masing tipe LD (Learning Disorder/Gangguan belajar) didiagnostik dengan cara yang sedikit berbeda. Untuk mendiagnostik kesulitan berbicara dan berbahasa, ahli terapi wicara menguji cara pelafalan bunyi bahasa anak-anak, kosakata, dan pengetahuan tata bahasa serta membandingkannya dengan kemampuan anak sebaya mereka yang normal.
Sehubungan dengan gangguan kemampuan atau perkembangan akademis yang mencakup membaca, menulis, dan matematika, maka pengujiannya dilakukan dengan metode uji standar. Kita perlu memperhatikan bahwa penanganan gangguan belajar itu sangatlah berbeda dengan upaya mengejar ketertinggalan pelajaran di sekolah.
Jika sekolah gagal mengenali keterlambatan belajar, orang tua dapat mencari alternatif lain. Orang tua harus mengetahui setiap langkah evaluasi yang dilakukan oleh sekolah tersebut. Orang tua juga harus mengerti bahwa mereka dapat menolak keputusan sekolah bila tidak setuju dengan hasl diagnosis yang dilakukan tim pendiagnosis. Orang tua selalu memliki hak untuk mendengarkan pendapat yang berasal dari pihak kedua.
Sebagian orang tua merasa seorang diri dan bingung ketika berbicara dengan para ahli. Sebagian orang tua berpendapat bahwa lebih baik meminta bantuan kepada seseorang yang mereka percayai dan selanjutnya pergi bersamanya ke pertemuan sekolah. Orang yang dipercaya itu bisa dokter atau bahkan tetangga keluarga tersebut. Mengajak seseorang yang kenal dengan kondisi sang anak sangat menguntungkan, karena ia dapat memahami nilai hasil uji dari permasalahan belajar anak itu.

 
  1. Evaluasi Diagnostik Kesulitan Belajar
Evaluasi diagnostik kesulitan belajar merupakan salah satu fungsi evaluasi yang memerlukan prosedur dan kompetensi yang lebih tinggi dari para guru sebagai evaluator. Evaluasi diagnostik kesulitan belajar merupakan evaluasi yang memiliki penekanan kepada penyembuhan kesulitan belajar siswa yang tidak terpecahkan oleh formula perbaikan yang biasanya ditawarkan dalam bentuk tes formatif.
Evaluasi diagnostik kesulitan belajar pada umumnya dilakukan pada awal pengajaran, awal tahun ajaran atau semester. Tujuan evaluasi ini salah satunya adalah untuk menentukan tingkat pengetahuan awal siswa. Ada dua hal yang penting dalam melakukan evaluasi diagnostik kesulitan belajar yaitu (1) penilaian diagnostik pada umumnya jarang digunakan oleh guru untuk menentukan grade dan (2) semakin baik evaluasi diagnostik yang dilakukan, semakin jelas tujuan belajar yang dapat ditetapkan.

 
  1. Konsep Dasar Pengajaran Remedial
    1. Definisi Pengajaran Remedial
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mendefinisikan bahwa "Remedial" dan "Teaching". Bila dipisahkan kata remedial berarti (1) Remedial yang berhubungan dengan perbaikan, pengajaran ulang bagi murid yang hasil belajarnya jelek, (2) Remedial berarti bersifat menyembuhkan (yang disembuhkan adalah beberapa hambatan / gangguan kepribadian yang berkaitan dengan kesulitan belajar sehingga dapat timbal balik dalam arti perbaikan belajar atau perbaikan pribadi). Sedangkan teaching yang berarti "pengajaran" berarti proses perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan Perihal mengajar, segala sesuatu mengenai mengajar.
Menurut Ischak S.W dan Warji R. dalam bukunya Program Remidial Dalam Proses Belajar-Mengajar memberikan pengertian Remedial Teaching adalah "Kegiatan perbaikan dalam proses belajar mengajar adalah salah satu bentuk pemberian bentuk pemberian bantuan. Yaitu pemberian bantuan dalam proses belajar mengajar yang berupakegiatan perbaikan terprogram dan disusun secara sistematis."

 
  1. Tujuan dan Fungsi Pengajaran Remedial
    1. Tujuan Pengajaran Remedial
      1. Supaya siswa dapat memahami dirinya, khususnya prestasi belajarnya, dapat mengenal kelemahannya dalam mempelajari suatu bidang studi dan juga kekuatannya.
      2. Supaya siswa dapat memperbaiki atau mengubah cara belajarnya ke arah yang lebih baik.
      3. Supaya siswa dapat memilih materi dan fasilitas belajar secara tepat.
      4. Supaya siswa dapat mengembangkan sifat dan kebiasaan yang dapat mendorong tercapainya hasil yang lebih baik.
      5. Supaya siswa dapat melaksanakan tugas-tugas belajar yang diberikan kepadanya, setelah ia mampu mengatasi hambatan yang menjadi kesulitan belajarnya, dan mengembangkan sikap serta kebiasaan yang baru dalam belajar.
    1. Fungsi Pengajaran Remedial
      1. Fungsi Korektif
      2. Fungsi Pemahaman
      3. Fungsi Penyesuaian
      4. Fungsi Pengayaan
      5. Fungsi Akselerasi
      6. Fungsi Terapeutik

         
  2. Metode dalam Pengajaran Remedial
Metode yang dapat digunakan, yaitu :
  1. Tanya Jawab
  2. Diskusi
  3. Tugas
  4. Kerja Kelompok
  5. Tutor
  6. Pengajaran Individual
  1. Strategi dan Teknik dalam Pendekatan Pengajaran Remedial
Strategi dan teknik pengajaran remedial seperti yang dirumuskan oleh Izhar Hasis yang disimpulkan dari Ross and Stanley dan dari Dinkmeyer and Caldweel dalam bukunya Developmental Counseling, adalah sebagai berikut :
  1. Strategi dan Teknik Pendekatan Remedial Teaching yang Bersifat Kuratif
    Teknik pendekatan yang dipakai dalam hal ini adalah sebagai berikut :
    1. Pengulangan (repetation)
    2. Pengayaan (enrichment) dan Pengukuhan (reinforcement)
    3. Percepatan (acceleration)
  2. Strategi dan Teknik pendekatan Remedial Teaching yang Bersifat Preventif
  3. Strategi dan Teknik Pendekatan Remedial Teaching Bersifat Pengembangan

 
  1. Langkah-Langkah Melaksanakan Pengajaran Remedial
Pengajaran remedial merupakan salah satu bentuk bimbingan belajar dapat dilaksanakan melalui langkah-langkah sebagai berikut :
  1. Meneliti kasus dengan permasalahannya sebagai titik tolak kegiatan-kegiatan berikutnya.
  2. Menentukan tindakan yang harus dilakukan.
    1. Jika kasusnya ringan, tindakan yang ditentukan adalah memberikan pengajaran remedial kepada siswa tersebut.
    2. Jika kasusnya cukup dan berat, maka sebelum diberikan pengajaran remedial, siswa harus diberikan layanan konseling terlebih dahulu.
  3. Pemberian layanan khusus yaitu bimbingan dan konseling.
  4. Langkah pelaksanaan pengajaran remedial.
  5. Melakukan pengukuran kembali terhadap prestasi belajar siswa dengan alat tes sumatif.
  6. Melakukan re-evaluasi dan re-diagnostik.
    Terdapat tiga kemungkinan tafsiran hasil, yaitu sebagai berikut :
    1. Kasus menunjukkan kenaikan prestasi yang dihasilkan sesuai dengan kriteria yang diharapkan. Maka selanjutnya diteruskan ke program yang berikutnya.
    2. Kasus menunjukkan kenaikan prestasi, namun belum memenuhi kriteria yang diharapkan. Maka kasus diserahkan kepada pembimbing untuk diadakan pengayaan.
    3. Kasus belum menunjukkan perubahan yang berarti dalam hal prestasi. Maka perlu didiagnostik lagi untuk mengetahui letak kelemahan pengajaran remedial untuk selanjutnya diadakan ulangan dengan alternatif yang sama.

     
  1. Perbandingan Prosedur Pengajaran Biasa dan Remedial
    1. Kegiatan pengajaran biasa sebagai program belajar mengajar di kelas dan semua siswa ikut berpartisipasi. Pengajaran perbaikan diadakan setelah diketahui kesulitan belajar, kemudian diadakan pelayanan khusus.
    2. Tujuan pengajaran biasa dalam rangka mencapai tujuan pengajaran yang ditetapkan sesuai dengan kurikulum yang berlaku dan sama untuk semua siswa. Pengajaran perbaikan tujuannnya disesuaikan dengan kesulitan belajar siswa walaupun tujuan akhirnya sama.
    3. Metode dalam pengajaran biasa sama buat semua siswa, sedangkan metode dalam pengajaran perbaikan berdiferensial (sesuai dengan sifat, jenis, dan latar belakang kesulitan.
    4. Pengajaran biasa dilakukan oleh guru, sedangkan pengajaran perbaikan oleh team (kerjasama).
    5. Alat pengajaran perbaikan lebih bervariasi, yaitu dengan penggunaan tes diagnostik, sosiometri, dsb.
    6. Pengajaran perbaikan lebih diferensial dengan pendekayan individual.
    7. Pengajaran perbaikan evaluasinya disesuaikan dengan kesulitan belajar yang dialami oleh siswa.

 
  1. Peran Aparat Sekolah, Orang Tua, dan Masyarakat dalam Program Pendidikan dan Pengajaran Remedial
    1. Kepala Sekolah
      1. Kepala sekolah harus menguasai sepenuhnya program pendidikan dan pengajaran remedial di sekolah
      2. Kepala sekolah menyediakan sumber belajar yang lengkap dan dapat digunakan setiap waktu sesuai dengan kebutuhan
      3. Kepala sekolah memiliki jalinan kerja sama yang baik dengan orang tua siswa di rumah
      4. Kepala sekolah mendirikan dan mengembangkan Lembaga Pusat Bimbingan dan Penyuluhan
      5. Kepala sekolah mampu mengangkat seorang ekspert yang bertugas sebagai guru pendidikan remedial.
    2. Orang Tua Siswa
      1. Menerima dengan baik kunjungan sekolah di rumah (home visit).
      2. Bersikap tanggap terhadap pembicaraan kasus putra-putranya dan menunjukkan sikap tidak emosional.
      3. Senang menghadiri undangan sekolah untuk membicarakan kasus putra-putranya.
      4. Dapat memberikan data objektif selengkap mungkin tentang kelemahan-kelemahan putranya dalam pelajaran.
      5. Mampu membantu memprediksi dan memberi latihan sepenuhnya terhadap kasus yang dihadapinya.
    3. Staf Tata Usaha Sekolah
      Mengaministrasi data-data kasus mulai dari latar belakang, asal-usul dan sebab-sebab kesulitan belajar siswa, cara-cara memprediksi penyembuhannya, sampai dengan cara-cara penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran remedial.
    4. Penilik Sekolah
      1. Melakukan kunjungan rutin ke sekolah sekurang-kurangnya dua minggu sekali
      2. Menyelenggarakan diskusi periodik dengan kepala sekolah dan guru-guru tentang upaya pemecahan kesulitan belajar siswa.
      3. Menyelenggarakan upaya kerja sama yang baik dengan lembaga-lembaga terkait.
    5. Para Pemerhati Pendidikan
      Para pemerhati pendidikan adalah orang-orang yang menaruh perhatian penuh terhadap proses dan hasil pendidikan yang dicapai siswa di sekolah serta berinisiatif besar dalam memberikan pendapat, sikap, dan aspirasinya dalam upaya penanganan kasus atau dalam hal ini siswa lamban belajar.
    6. Lembaga-Lembaga Kemasyarakatan Terkait
      Keterlibatan lembaga-lembaga kemasyarakatan terkait dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran remedial, khususnya dalam penanganan kasus kenakalan remaja diperlukan sekali terutama membantu sekolah dalam mengumpulkan data objektif tentang latar belakang dan sebab-sebab terjadinya suatu peristiwa serta membantu dalam penyelesaiannya.

 
  1. Evaluasi Pengajaran Remedial
Pada akhir kegiatan siswa diadakan evaluasi. Tujuan paling utama adalah diharapkan 75% taraf pengusaan (level of mastery). Bila ternyata belum berhasil maka dilakukan diagnostik dan memperoleh pengajaran remedial kembali.
Evaluasi perlu dilakukan secara kontinu untuk menentukan perkembangan dan prosedur yang hendak dilaksanakan dimasa mendatang. Evaluasi remidi memiliki arti penting bagi orang-orang terdekat siswa. Oleh karena itu, perlu diberikan informasi kepada siswa dan orangtua mengenai perkembangan belajarnya.